Hampir setiap daerah di Indonesia mengalami persoalan pendidikan, mulai dari kuantitas guru yang masih kurang, tingkat kualifikasi pendidikan guru yang belum memenuhi apa yang dipersyaratkan UU, kondisi anak marjinal yang tidak dapat memperoleh pendidikan, kondisi wajib belajar sembilan tahun yang masih belum tercapai, sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang masih ngambang pada setiap guru, pelaksanaan diklat bagi guru yang belum merata, dan masih banyak fenomena pendidikan di negeri kita ini.
Persoalan pendidikan lebih banyak bermasalah di negeri kita ini pada umumnya di berbagai pelosok tanah air. Kondisi pendidikan di berbagai daerah terpencil, pedalaman, rawan dan konflik, seharusnya dan mutlak menjadi perhatian pemerintah. Oleh sebab itulah, pendidikan wajar sembilan tahun perlu digesa, dan mereka-mereka inilah yang perlu mendapatkan pendidikan gratis. Gratis dimaksudkan adalah pembebasan terhadap semua kewajiban, selanjutnya mereka juga harus mendapatkan seperangkat alat peralatan pembelajaran, pakaian seragam, dan kebutuhan lainnya.
Namun, pendidikan gratis inipun hendaknya lebih dipokuskan kepada keluarga yang tidak mampu. Untuk mengetahui ketidakmampuan diserahkan kepada sekolah, karena sekolah memahami kondisi ekonomi orang tua dan masyarakat. Bagi kondisi ekonomi mereka yang memadai dan di atas garis kemiskinan hendaknya punya rasa malu untuk tidak menerima pendidikan gratis, karena gratis diperuntukan kepada anak didik yang tidak punya kemampuan ekonomi.
Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2005, sejumlah anggota masyarakat memperingatinya dengan cara mereka sendiri, berdemonstrasi di depan Kantor Departemen Pendidilkan Nasional, menyuarakan tuntutan dan aspirasi mereka, serta mempertanyakan beberapa kebijakan pendidikan. Salah satunya adalah tuntutan pendidikan murah dan gratis gratis, sebagai esensi dari kebijakan ‘’Wajib Belajar Sembilan Tahun.’’
Apakah yang menjadi dasar tuntutan pendidikan gratis? Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa sedap warga negara berhak mendapat pendidikan, sementara pada Ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Amanat konstitusi ini diperkuat lagi melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang menyebutkan bahwa: (a) setiap warga negara mem-punyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 ayat1), (b) setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1), (c) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat 1), (d) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bag-i setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat 2).
Itulah amanat undang-undang tentang hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, sekaligus tanggung jawab pemerintah atas hal tersebut. Namun kenyataannya pemerintah belum sepenuhnya mampu memberikan layanan pendidikan, termasuk untuk pendidikan dasar (sekolah dasar/madrasah iftidaiyah atau SD/MI dan sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah atau SMP/MTs).
Menurut Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang, Depdiknas, pada tahun ajaran 2002/2003 angka partisipasi murni (APM) SD/MI sudah mencapai 93,78 pcrsen, sementara APM SMP/MTs baru 59,21 persen. Artinya, 6,22 persen atau sekitar 1,6 juta anak usia SD/MI dan 40,79 persen atau sekitar 5,3 juta anak usia SMP/MTs belum mendapat peluang memperoleh pendidikan dasar. Masih banyaknya anak usia pendidikan dasar yang belum mendapatkan pendidikan dasar ini antara lain disebabkan oleh belum memadainya sarana dan prasarana pendidikan dasar yang ada dan/atau terlalu besarnya porsi bcban biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua siswa, sehinnga sebagian mereka, terutama keluarga miskin, tidak sanggup inenyekolahkan anak-anak mereka.
Studi tentang pembiayaan pendidikan yang dilakukan oleh Balitbang, Depdiknas mengungkapkan bahwa dari seluruh beban biaya pada satuan pendidikan SD/MI sebesar Rpl.535.000 per siswa per tahun, 71 persen ditanggung oleh orang tua siswa, dan hanya 29 persen yang ditanggung oleh pemerintah. Sedangkan di tingkat SMP/MTs dari seluruh beban biaya pada satuan pendidikan SD/Ml sebesar Rp1.894,000 juta per siswa per tahun, 68 persen ditanggung oleh orang tua siswa dan 32 persen ditanggung oleh pemerintah.
Hal ini terjadi karena masih rendahnya anggaran pendidikan yang dapat disediakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pada tahun anggaran 2004, persentase dana pendidikan di luar gaji pendidik dan pendidikan kedinasanterhadap APBN, APBD) Provinsi, dan APBD Kabupaten/Kota masing-masing baru mencapai 9,95 persen, 8,04 persen, dan 11,90 persen.
Oleh sebab itulah, program kebijakan BOS dan BKM akan dapat membantu orang tua/wali, masyarakat yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya, dan program Wajib Belajar Sembilan Tahun dapat terwujud. Semoga.
Persoalan pendidikan lebih banyak bermasalah di negeri kita ini pada umumnya di berbagai pelosok tanah air. Kondisi pendidikan di berbagai daerah terpencil, pedalaman, rawan dan konflik, seharusnya dan mutlak menjadi perhatian pemerintah. Oleh sebab itulah, pendidikan wajar sembilan tahun perlu digesa, dan mereka-mereka inilah yang perlu mendapatkan pendidikan gratis. Gratis dimaksudkan adalah pembebasan terhadap semua kewajiban, selanjutnya mereka juga harus mendapatkan seperangkat alat peralatan pembelajaran, pakaian seragam, dan kebutuhan lainnya.
Namun, pendidikan gratis inipun hendaknya lebih dipokuskan kepada keluarga yang tidak mampu. Untuk mengetahui ketidakmampuan diserahkan kepada sekolah, karena sekolah memahami kondisi ekonomi orang tua dan masyarakat. Bagi kondisi ekonomi mereka yang memadai dan di atas garis kemiskinan hendaknya punya rasa malu untuk tidak menerima pendidikan gratis, karena gratis diperuntukan kepada anak didik yang tidak punya kemampuan ekonomi.
Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2005, sejumlah anggota masyarakat memperingatinya dengan cara mereka sendiri, berdemonstrasi di depan Kantor Departemen Pendidilkan Nasional, menyuarakan tuntutan dan aspirasi mereka, serta mempertanyakan beberapa kebijakan pendidikan. Salah satunya adalah tuntutan pendidikan murah dan gratis gratis, sebagai esensi dari kebijakan ‘’Wajib Belajar Sembilan Tahun.’’
Apakah yang menjadi dasar tuntutan pendidikan gratis? Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa sedap warga negara berhak mendapat pendidikan, sementara pada Ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Amanat konstitusi ini diperkuat lagi melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang menyebutkan bahwa: (a) setiap warga negara mem-punyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 ayat1), (b) setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1), (c) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat 1), (d) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bag-i setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat 2).
Itulah amanat undang-undang tentang hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, sekaligus tanggung jawab pemerintah atas hal tersebut. Namun kenyataannya pemerintah belum sepenuhnya mampu memberikan layanan pendidikan, termasuk untuk pendidikan dasar (sekolah dasar/madrasah iftidaiyah atau SD/MI dan sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah atau SMP/MTs).
Menurut Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang, Depdiknas, pada tahun ajaran 2002/2003 angka partisipasi murni (APM) SD/MI sudah mencapai 93,78 pcrsen, sementara APM SMP/MTs baru 59,21 persen. Artinya, 6,22 persen atau sekitar 1,6 juta anak usia SD/MI dan 40,79 persen atau sekitar 5,3 juta anak usia SMP/MTs belum mendapat peluang memperoleh pendidikan dasar. Masih banyaknya anak usia pendidikan dasar yang belum mendapatkan pendidikan dasar ini antara lain disebabkan oleh belum memadainya sarana dan prasarana pendidikan dasar yang ada dan/atau terlalu besarnya porsi bcban biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua siswa, sehinnga sebagian mereka, terutama keluarga miskin, tidak sanggup inenyekolahkan anak-anak mereka.
Studi tentang pembiayaan pendidikan yang dilakukan oleh Balitbang, Depdiknas mengungkapkan bahwa dari seluruh beban biaya pada satuan pendidikan SD/MI sebesar Rpl.535.000 per siswa per tahun, 71 persen ditanggung oleh orang tua siswa, dan hanya 29 persen yang ditanggung oleh pemerintah. Sedangkan di tingkat SMP/MTs dari seluruh beban biaya pada satuan pendidikan SD/Ml sebesar Rp1.894,000 juta per siswa per tahun, 68 persen ditanggung oleh orang tua siswa dan 32 persen ditanggung oleh pemerintah.
Hal ini terjadi karena masih rendahnya anggaran pendidikan yang dapat disediakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pada tahun anggaran 2004, persentase dana pendidikan di luar gaji pendidik dan pendidikan kedinasanterhadap APBN, APBD) Provinsi, dan APBD Kabupaten/Kota masing-masing baru mencapai 9,95 persen, 8,04 persen, dan 11,90 persen.
Oleh sebab itulah, program kebijakan BOS dan BKM akan dapat membantu orang tua/wali, masyarakat yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya, dan program Wajib Belajar Sembilan Tahun dapat terwujud. Semoga.