Persaingan Para Penari Jalanan
Dari sekian banyak jenis film, aliran musikal terbilang masih bertahan meski tak sekuat horor atau action. Bisa dibilang produksinya sangat minim. Meski bukannya tidak ada sama sekali. Film musik —yang biasanya bergandengan dengan tarian— tetap diciptakan. Bahkan sebagian film jenis ini menuai penghargaan. Seperti Moulin Rouge dan Chicago.
Sayangnya, untuk film musikal remaja, bahkan Hollywood sekalipun kurang menaruh minat. Produksinya terbilang super sedikit dan umumnya gagal mencetak hits. Contohnya Center Stage (2000) dan High School Musical (2006). Padahal industri musik dan tarian di Amerika sangat berlimpah. Sangat mengherankan memang. Alhasil, untuk kalangan remaja, film-film musikal yang diproduksi kurang bervariasi, standar, dan seringkali tidak berbobot.
Di tengah situasi minim tersebut, film Step Up 2: The Streets diluncurkan pada Februari lalu. Disutradarai John Chu, sutradara muda kelahiran California, 2 November 1979 yang baru menghasilkan tiga film, Step Up 2: The Streets merupakan sekuel film Step Up (2006).
Tentunya dengan nama sutradara yang belum terkenal, film ini terbilang produksi yang berskala kecil. Tak ada bintang terkenal yang dilibatkan. Alhasil, cerita yang diangkat pun tak terlalu istimewa. Kisah yang diangkat sekuel ini merupakan kebalikan dari film Step Up yang pertama.
Jika pada Step Up mengisahkan penari jalanan yang menjalin kolaborasi dengan penari akademisi untuk tampil di sekolah, sementara di The Streets, para penari sekolahan ini berlaga di arena lomba tari jalanan.
Mereka berusaha mendapat pengakuan di dunia tari yang lebih dekat dengan kehidupan anak muda di ruang-ruang klab malam.
Tokoh utama di Step Up, Tyler Gage (Channing Tatum) kembali muncul selintas di sekuel ini. Ia memberi motivasi pada Andie (Briana Evigan), untuk menggunakan bakat menarinya sebagai jalan memasuki Akademi Seni di Maryland, Baltimore. Awalnya Andie menolak karena ia lebih tertarik menggeluti arena tari jalanan bersama kelompok 410. Masalahnya, pertunjukan yang diadakan 410 seringkali dinilai mengganggu, karena dilakukan di sejumlah fasilitas umum, seperti kereta api.
Ketika aksi 410 mulai meresahkan masyarakat, Andie diultimatum wali-nya, Sarah (Sonja Sohn) untuk keluar dari gang tersebut atau pindah ke rumah bibinya di Texas. Tak ada pilihan lain bagi Andie selain masuk ke MAA (Maryland Arts Academy), tempat Tyler sekolah dan akhirnya sukses menjadikannya seorang penari profesional.
Seperti cerita remaja pada umumnya, di MAA, Andie menjalin hubungan romantis dengan Chase Collins (Robert Hoffman), adik direktur MAA. Mereka dekat karena memiliki kesamaan minat akan tari jalanan. Berbeda dengan pelajar departemen tari lainnya yang cenderung dididik balet dan tarian klasik lainnya, oleh Blake Collins (Will Kemp), sang direktur yang mantan penari balet profesional.
Kesamaan minat untuk menentang arus ini akhirnya mendorong mereka menciptakan kelompok tari sendiri. Terkumpullah sejumlah siswa ‘buangan’ yang selama ini diabaikan kemampuannya. Ada penari yang lebih doyan mengasah tap dance, mahasiswa jurusan lighting design yang ternyata sangat oke menari breakdance diiringi musiknya Timbaland, hingga Jenny Kido (Mari Koda) yang tak lancar berbahasa Inggris, namun penggemar hip hop.
Mereka bergabung dengan impian mengalahkan supremasi 410 di arena tari jalanan. Tentunya ada berbagai halangan. Dari Sophie (Cassie Ventura), mahasiswa tari serba bisa yang mantan Chase, hingga aksi vandalisme 410 saat menyerang MAA.
Meski tak didukung oleh cerita yang menarik, Step Up 2: The Streets bisa dinilai mewakili dunia kaum muda. Arena klab, gaya pertemanan ala gang, percintaan di kampus, hingga jenis tarian yang memang hidup di dunia hiburan dan jalanan. Koreografi yang ditampilkan setidaknya bisa menolong film ini untuk enak ditonton. Para aktor yang tampil begitu sehat, atraktif dan dinamis. Mereka berhasil menampilkan jiwa kaum muda yang memang hidup dan terobsesi pada tarian.
Musik yang dilibatkan juga sangat mendukung gerak tarian. Simak saja beat rancak lagu Low (feat T-Pain) yang dibawakan Flo Rida, Push (Enrique Iglesias), dan Bounce milik Timbaland di album Shock Value. Koreografi yang diciptakan pun memadukan beragam unsur sejumlah tarian yang hidup di jalanan. Dari breakdance, hip hop, disko, dan sejumlah gerakan free style lainnya.
Kenikmatan menonton film ini memang tak bisa didapatkan dari segi cerita atau kualitas akting para pemainnya. Selain terhibur lewat tarian dan musik yang begitu dinamis, sebenarnya film ini menyodorkan psikologis dunia anak muda yang mungkin telah dilupakan mereka yang beranjak tua. Persaingan antar gang dan kekompakan pertemanan, memang begitu berarti ketimbang nasehat orangtua yang seringkali nyinyir dan bertele-tele.(hbk/jn/berbagai sumber)