Hampir semua suku di Nusantara mengenal seni tari, seni musik, seni kebudayaan, dan seni membangun rumah, namun seni pantun justru sering dilupakan orang. Pantun merupakan salah satu ekspresi seni lisan khas Melayu, termasuk Melayu Riau. Bagi orang Melayu, pantun sudah mendarah daging karena sejak kecil mereka sudah bergelimang dengan pantun. Mereka juga sudah sangat terbiasa mendengarkan uraian penafsirannya di berbagai kesempatan, mulai dari upacara adat, nyanyian, sampai pada pembicaraan sehari-hari. Kondisi inilah yang menyebabkan pantun selalu terangkat ke permukaan dengan berbagai gaya dan isinya sehingga masyarakat Melayu tidak sekadar arif menyimak makna yang terkandung di dalam pantun, tapi juga mampu bahkan mahir dalam berpantun.
Pantun yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Melayu ini, terutama Melayu masa silam, secara arif dijadikan media dakwah dan tunjuk ajar oleh para ulama, pemangku adat, dan cerdik pandai sebagai media penyampaian pesan-pesan moral yang sarat nilai-nilai luhur agama Islam, budaya, dan norma-norma sosial masyarakat. Biasanya penyampaiannya dilakukan dengan berbagai variasi, seperti pantun nyanyian, pantun adat, pantun kelakar, pantun nasehat, pantun berkasih sayang, bahkan pantun monto (mantera) sesuai waktu, tempat, kemampuan dan kedudukan sang penyampai pantun, serta kepada siapa pantun itu ditujukan.
Dalam kehidupan masyarakat Melayu, pantun berperan penting dalam mewujudkan pergaulan seresam karena kemahiran dalam berpantun seakan menjadi tolok ukur tingkat pergaulan dan status sosial seseorang. Artinya, semakin mahir seseorang dalam pantun-memantun, maka semakin tinggi pula tingkat pergaulan dan status sosialnya.
Di samping itu, pantun berperan pula sebagai hiburan, penyalur aspirasi, penyebaran dan penanaman nilai-nilai keagamaan, bahkan mencari jodoh. Singkat kata, pantun menembus segala aspek kehidupan masyarakat Melayu. Sebagaimana tersebut dalam ungkapan, "dengan pantun banyak yang dituntun", "pantun dipakai membaiki perangai", "melalui pantun syarak menuntun", "di dalam kelakar terdapat tunjuk ajar", "di dalam seloroh ada petaruh", "di dalam menyindir terdapat tamsil", dan juga terungkap dalam pantun-pantun berikut:
Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk memberi petuah amanat
Apa guna daun kayu
Untuk tempat orang berteduh
Apa guna pantun Melayu
Untuk tempat mencari suluh
Dalam berpantun biasanya para pemantun (penutur) sangat memperhatikan keserasian sampiran, keserasian antara isi dan sampiran, pemilihan kata, dan penyusunan kalimat. Artinya, tidak hanya sekadar kesamaan bunyi belaka. Dengan kata lain, pantun yang baik adalah pantun yang sampiran dan isinya mengandung arti. Sehingga, pantun semacam ini sedap didengar, mudah dipahami, tidak berbelit-belit apalagi mengada-ada, dan yang terpenting bahwa pantun itu penuh dengan kandungan isinya yang mendalam namun tetap mudah dicerna, seperti dalam pantun berikut ini:
Hari Jum‘at orang sembahyang
Menyembah Tuhan beramai-ramai
Membayar zakat janganlah bimbang
Supaya bersih harta dipakai
Bila hidup tidak beriman
Banyaklah orang fitnah memfitnah
Bila mengikuti bisikan syetan
Kebaikan hilang marwahpun punah
Meskipun pada masa silam pantun mendapat kedudukan istimewa, yaitu begitu diutamakan dan dijadikan pedoman, pegangan, dan bekal dalam kehidupan masyarakat Melayu, namun pada masa kini keadaannya justru terbalik. Sejalan dengan perubahan zaman, jumlah penutur dan pemantun semakin sedikit. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya dalam masyarakat, langkanya momentum untuk menampilkan dan menyampaikan pantun, serta semakin minimnya perhatian seluruh kalangan masyarakat, mulai dari tingkat atas sampai paling bawah. Kondisi-kondisi tersebut membuat seni Melayu ini menjadi asing di tengah masyarakatnya sendiri. Pemahaman masyarakat yang belum mendalam terhadap seni pantun dan apa manfaatnya dalam kehidupan bermasyarakat ternyata juga berpengaruh terhadap kondisi-kondisi semacam itu.
Meski demikian, belakangan ini ada secercah titik terang yang kita temukan pada usaha sebagian pejabat di Riau untuk memasukkan pantun ke dalam pidato-pidato resmi dan juga usaha sebagian masyarakat untuk memasukkan pantun dalam rangkaian upacara perkawinan adat, seperti pada saat upacara "membuka pintu" dan "membuka kipas" pengantin di pelaminan. Walaupun tahap awal ini nampaknya hanya sebatas seremonial belaka, namun setidaknya tahap ini bisa dijadikan pijakan awal untuk mengembangkan dan membumikan kembali seni budaya pantun dalam hidup dan kehidupan masyarakat Melayu. Tentu saja, perhatian dan kerjasama berbagai lapisan masyarakatlah yang akan menentukan keberadaan pantun pada masa mendatang.
Buku tulisan Tenas Effendy yang diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Penerbit Adicita Karya Nusa ini menjelaskan hal ihwal pantun memantun, mulai dari pantun secara umum sampai pada pembagian jenis pantun. Atau dengan kata lain, tema-tema yang dibahas adalah mulai dari kandungan isi pantun, kedudukan, peran, kapan dan seperti apa penggunaannya, serta keberadaannya dalam kehidupan masyarakat Melayu masa kini dan masa silam.
Di bagian akhir buku ini, Tenas Effendy menyuguhkan 999 buah pantun pilihan yang mengandung nilai-nilai luhur agama Islam, budaya, dan norma-norma sosial masyarakat Melayu, yang disebutnya sebagai “pantun nasehat”. Bila dicermati secara seksama, contoh-contoh pantun yang termuat dalam buku ini sebenarnya lebih mendekati kepada nasehat dan petuah. Sehingga, selain memetik nasehat yang termuat di dalamnya, kita juga bisa menjadikannya sebagai rujukan dalam menyampaikan nasehat-nasehat yang dimaksud.
Apa yang disuguhkan dalam buku ini memang belumlah mencakup seluruh pantun Melayu karena apa yang disajikan barulah sebagian kecil dari ribuan bahkan jutaan pantun Melayu. Buku ini justru hanya memuat sebagian dari seluruh pantun yang ada. Hal ini dapat dimaklumi karena untuk menghimpun pantun yang dimaksud memerlukan waktu yang relatif lama serta memerlukan kajian yang lebih mendalam. Apalagi, sebagian besar pantun-pantun tersebut tersebar di berbagai pelosok bumi Melayu.
Oleh karena itu, kehadiran buku ini patut diapresiasi. Buku ini merupakan salah satu upaya konkret yang positif dalam rangka mengekalkan seni Melayu. Buku ini diharapkan mampu memicu perhatian, kesadaran, dan partisipasi aktif seluruh masyarakat Melayu pada umumnya dan masyarakat Melayu Riau pada khususnya untuk melestarikan dan membumikan kembali seni Melayu ini dalam bingkai kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Judul Buku : Pantun Nasehat
Penulis : H. Tenas Effendy
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/88/Membumikan-Kembali-Pantun-Nasehat-Melayu