Suku Bangsa Akit (Riau)

Orang Akit telah bermukim di daerah ini sejak waktu lampau. Keberadaan mereka dibuktikan dengan adanya catatan sejarah yang menyebutkan bahwa mereka pernah menjalin hubungan dengan Kesultanan Siak dalam menghadapi perlawanan pasukan dari Eropa. Pasukan Belanda yang mencoba menanamkan pengaruhnya di daerah ini tercatat mengalami beberapa perlawanan dari orang Akit. Pasukan Akit dikenal dengan senjata tradisional berupa panah beracun dan sejenis senjata sumpit yang ditiup.
Mata pencaharian pokok orang Akit adalah menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, berburu binatang, dan meramu sagu. Orang Akit tidak mengenal sistem perladangan secara menetap. Pengambilan hasil hutan yang ada di tepi-tepi pantai biasanya disesuaikan dengan jumlah kebutuhan. Penangkapan ikan atau binatang laut lainnya mereka lakukan dengan cara sederhana, misalnya dengan memasang perangkap ikan (bubu). Hasil meramu sagi biasanya dapat memenuhi kebutuhan akan sagu selama beberapa bulan.
Hubungan orang Akit dengan masyarakat lain di sekitarnya boleh dikatakan sangat jarang. Hal ini didukung oleh kecenderungan mereka untuk mempertahankan identitas mereka. Beberapa waktu lampau mereka memang masih sering digolongkan sebagai “suku bangsa terasing”. Penduduk di sekitarnya banyak yang kurang berkenan menjalin hubungan dengan mereka, karena orang Akit dipercaya memiliki pengetahuan tentang ilmu hitam dan obat-obatan yang dapat membahayakan. Kesulitan menjalin hubungan yang disebabkan karena seringnya mereka berpindah-pindah. Pemerintah dan beberapa kalangan sudah mencoba meningkatkan taraf hidup mereka, antara lain, dengan mendirikan pemukiman tetap dan mengajarkan cara-cara bercocok tanam dengan teknik pertanian modern.
Sistem kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah dapat dinikahkah bila usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap sesudah nikah menentukan bahwa seorang isteri mengikuti suaminya di kediaman baru atau di sekitar kediaman kerabat suaminya. Upacara pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa daging babi dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.
Komunikasi dengan masyarakat di sekitarnya biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu. Walaupun sudah mengenal agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen, sebagian besar dari mereka masih menganut kepercayaan animistik. Pengaruh agama Budha mereka terima dari kalangan pedagang-pedagang Cina yang banyak datang dan menetap ke daerah ini.
Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Foto: selatbaru-bengkalis.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar