Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu
Kebudayaan Melayu sarat muatan dengan kesusastraannya, baik sastra lisan maupun sastra tulisan. Sastra lisan mengambil bagian terbesar. Kepandaian masyarakat Melayu dalam merajut dan merangkai ungkapan seperti pantun dan syair menjadi bukti sejarah bahwa kebudayaan Melayu menjadi besar berkat kesusastraanya, khususnya budaya lisan. Peribahasa, pantun, ataupun syair merupakan ungkapan sehari-hari yang bernilai sangat penting ketika diadakan sebuah majelis adat.
Kandungan dari ungkapan tersebut semakin beranekaragam dengan perpaduan nilai-nilai agama, budaya, dan norma sosial. Selain dari itu, ungkapan bagi masyarakat Melayu banyak terkandung nilai-nilai nasehat dan tunjuk ajar yang khas dan bernas. Sehingga, pemakaiannya selalu lestari dan terealisasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam upacara adat dan tradisi budaya Melayu lainnya, misalnya ungkapan dalam upacara perkawinan masyarakat Melayu, sebagaimana diulas dalam buku Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu karya Tenas Effendy.
Upacara perkawinan bagi manusia pada dasarnya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dan rohaniah, bukan pula sekadar peristiwa alamiah-naluriah semata, karena manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk apapun di dunia. Upacara perkawinan tidak bisa terlepas dari nilai-nilai agama, moral, sosial, dan budaya. Maka dari itu, petuah atau nasehat selalu diberikan pada mempelai guna mempersiapkan diri dalam mengarungi samudera rumah tangga. Keindahan upacara perkawinan akan bertambah jika diiringi rancak upacara dan kerangian adat resam yang menyertainya.
Perkawinan dalam adat Melayu memiliki ciri khas tersendiri, yakni dalam pemakaian ungkapan. Seperti halnya upacara perkawinan adat lainnya, upacara perkawinan dalam masyarakat Melayu tidak terlepas dari tahapan-tahapan ritual khusus. Pada setiap tahapan ritual itu pemakaian ungkapan tertentu digunakan, yaitu ungkapan yang selaras dan sesuai dengan tahapan-tahapan yang dimaksud. Sebagai contoh, ungkapan yang digunakan ketika kedua pengantin sudah duduk bersanding adalah sebagai berikut:
Encik-encik Puan-puan Tuan-tuan Para jemputan yang kami mulyakan Alhamdulillah, Di atas pelaminan telah bersanding kedua pengantin Bagaikan balam dua setengger Bagaikan pinang pulang ke tampuk Bagaikan sirih pulang ke gagang Bagaikan keris pulang ke sarungnya Kalau disukat sama banyaknya Kalau ditimbang sama beratnya Kalau diukur sama panjangnya Kalau ditaksir sama harganya Umpama emas sama beratnya Umpama intan sama mulyanya Sama setara duduk tegaknya Sama sebanding asal usulnya
Masih banyak contoh lain yang dihadirkan dalam buku ini perihal sistematika pemakaian dan pemilihan ungkapan tersebut. Ungkapan yang digunakan memang mengiringi tahapan ritual yang tidak hanya indah didengar, tetapi juga berisikan petuah, nasehat, dan tunjuk ajar yang berguna bagi kedua mempelai, keluarga keduanya, atau bagi siapapun yang hadir dalam rangkaian upacara tersebut. Orang tua-tua melayu mengatakan, “melalui ungkapan, banyak makna yang tersimpan; di dalam pantun, banyak makna yang terhimpun; di dalam pepatah benaklah faedah; di dalam bidal, banyaklah berkah; di dalam ibarat, banyak isyarat; di dalam perumpamaan, banyak pedoman; di dalam gurindam, banyak rahasia terpendam; atau di dalam kata banyak makna”.
Hal yang terpenting dari pemakaian ungkapan adalah saat kata sambutan atau biasa disebut dengan kata alu-alunan. Menurut Tenas, kata alu-alunan amatlah penting karena di dalamnya tersimpul segala inti dari pelaksanaan upacara yang dilakukan. Di dalam kata alu-alunan itulah disampaikan isi hati yang punya hajat serta ucapan puja-pujinya kepada seluruh jemputan (hlm. 27).
Selain berisikan ungkapan, buku ini ini juga memuat ringkasan tentang rangkaian upacara perkawinan yang meliputi menggantung-gantung, berinai, berandam, khataman Qur‘an, akad nikah, upacara langsung, malam keluarga, dan upacara mandi damai.
Tradisi upacara perkawinan dalam adat Melayu sungguh sangat beragam dan khas. Hal inilah yang mendorong Tenas Effendy, seorang budayawan Melayu, untuk merangkum berbagai rangkaian tahapan ritual dan pemakaian ungkapan dalam upacara perkawinan adat melayu melalui karyanya tersebut.
Upaya untuk mengangkat ungkapan yang ada dalam khazanah budaya Melayu umumnya dan dalam upacara perkawinan Melayu khususnya, diharapkan dapat dijadikan referensi bagi sejumlah masyarakat Melayu yang kurang memahami dan menguasai bentuk ungkapan tersebut. Dengan demikian, diharapkan pula bahwa pemakaian uangkapan tersebut tetap hidup dan kekal dalam khazanah budaya Melayu.
Dari sisi lain, Tenas Effendy berharap kepada generasi muda melayu tidak melunturkan jati diri kemelayuannya seiring dengan laju perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya, yang menyebabkan orang melayu tercabut dari akar budayanya sendiri. Dengan kata lain, diharapkan generasi muda melayu dapat tumbuh menjadi generasi muda yang handal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern, tetapi juga memiliki jati diri kemelayuan yang kental, karena budaya melayu adalah budaya yang dinamis dan terbuka terhadap perkembangan zaman.
Setidaknya, kehadiran buku ini menjadi dokumentasi yang teramat penting bagi tamadun Melayu yang dulu sempat berjaya dan telah mengisi peradaban manusia di dunia ini.
Oleh : Muhammad Syukur
Judul Buku : Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu
Penulis : Tenas Effendy
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: adicita.com/resensi/detail/id/74/Pemakaian-Ungkapan-dalam-Upacara-Perkawinan-Orang-Melayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar